Minggu, 12 Mei 2013

Indahnya Hidup Bersama Allah

BEGINI ceritanya, bertahun-tahun saya dimintai tolong oleh salah satu orang tua jauh saya untuk mengambil barang dagangan di salah satu pusat grosir Jakarta. Untuk melakukan hal tersebut saya harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit, waktu hingga berjam-jam dan juga tenaga untuk memikul barang yang beratnya dua sampai tujuh kilo gram.
Ditambah lagi barang dagangan tersebut harus saya bawa menggunakan angkutan umum ke luar kota Jakarta tempat di mana orang tua jauh saya tinggal.
Namun demikian, orang tua jauh saya itu tidak pernah memberikan kompensasi sepeser pun dari pengorbanan yang telah saya berikan, padahal bantuan tersebut sifatnya murni urusan bisnis yang setahu saya semua energi yang keluar untuk menunjang bisnis harus dibayar dengan uang. Berbeda dengan urusan sosial atau kekeluargaan, yang di dalamnya tidak mengandung unsur profit. Tidak dibayar pun tidak masalah, walaupun saat ini sukarelawan sosial pun tetap digaji dan memang harus digaji, karena ia telah mengorbankan waktu dan tenaga untuk menyelesaikan urusan sosial tersebut.
Alhamdulillah saya masih bisa berlapang hati melakukan semua itu mengingat betapa besar pahala yang akan didapat jika ikhlas membantu orang tua jauh yang telah banyak berjasa pada saya.
Namun, suatu ketika dada ini menyempit. Rasa sesak pun mulai merayapi kerongkongan. Hati mulai bergemuruh dan otak pun terasa mendidih. Ditambah lagi cuaca saat itu sangat terik dan kemacetan di jalan raya begitu padat.
Semua itu terjadi bukan tanpa sebab. Tetapi ada perubahan kurang menyenangkan memperberat beban yang selama ini memang sudah berat.
Ternyata yang minta bantuan bukan hanya orang tua jauh saya. Akan tetapi anaknya pun ikut-ikutan titip ini dan itu tanpa ada ganti ongkos sepeser-pun. Padahal titipan-titipan itu masih dalam kategori menunjang bisnis mereka.
Jika boleh dihitung, penghasilan bulanan dia lebih tinggi 10 kali lipat dari penghasilan bulanan saya. Tapi entah mengapa dia rela melakukan tindakan yang merendahkan diri sendiri plus tidak mau menanggung biaya yang muncul.
Pernah saya memberanikan diri untuk memasang tarif khusus untuknya jika titip sesuatu. Namun setelah 4 kali nitip dia tidak juga membayarnya padahal sudah saya tagih. Mereka hanya mengatakan iya nanti dibayar. Tapi kapan? Sudah hampir setahun ini mereka tidak mau membayarnya dan memang dari gelagat dan kata-katanya seperti orang yang tidak memiliki itikad sedikitpun untuk membayar.
Sekarang malah makin menggila. Titipan tersebut dititipkan pada orang tuanya agar terkesan yang minta bantuan bukan dia. jadi tak perlu membayar karena dia tahu saya tidak memasang tarif untuk orang tuanya jika meminta bantuan kepada saya.
Saya benar-benar merasa bingung dan mentok. Tidak tahu apa yang sebaiknya saya lakukan. Semua serba salah dan semua ide yang muncul menyiratkan resiko yang begitu besar.
Jika saya sampaikan keluhan ini ke orang tuanya, saya yakin beliau pasti kecewa dan saya pun akan mendapat label anak yang durhaka sama orang tua, perhitungan dan tidak mau berkorban untuk orang tua.
Ada ide lain yang lumayan ekstrim namun tampak cantik dan tidak membuat gaduh. Yaitu ambil saja uang di kotak toko beliau, toh tidak ada yang tahu dan alasannya pun jelas untuk mengganti ongkos. Terlebih lagi saya termasuk karyawan paruh waktu di toko tersebut.
Namun setelah dipikir-pikir ide tersebut resikonya lebih besar ketimbang ide pertama. Saya bukan lagi berurusan dengan manusia akan tetapi saya harus berurusan dengan Allah –subhanahu wa ta’ala– karena tindakan tersebut termasuk dalam kategori mencuri. Sebab uang yang diambil tanpa melalui pemberitahuan dan kesepakatan kedua belah pihak.
Namun, jika saya diam saja artinya tidak melakukan kedua hal tersebut, berarti terus menerus saya diperlakukan secara licik. Dirugikan dan keikhlasan saya terancam rusak karena tiap hari harus kesal dan kecewa. Belum lagi efek dari hati yang kecewa lebih besar lagi. Contohnya saya akan membenci saudara dan orang tua jauh saya, membicarakan keburukan-keburukan mereka kepada orang lain dan banyak lagi. Benar-benar sebuah ide yang tak layak untuk dijalankan.
Dalam kondisi yang serba membingungkan tersebut. Kelelahan hati dan fisik yang kian menjadi. Hampir-hampir saja saya teriak sekeras-kerasnya dan ingin melemparkan kata-kata keji untuk mereka semua yang telah melampaui batas.
Namun Allah –subhanahu wa ta’ala– yang maha pengasih lagi maha penyayang menurunkan ketentraman pada hati saya. Ada bisikan lembut menyapa telinga saya dan masuk hingga relung-relung hati yang paling dalam. Sebagai penawar duka dan solusi atas masalah yang tengah saya hadapi.
Bisikan lembut itu mengatakan, “tenanglah wahai zainal, sampaikan saja semua keluh kesahmu pada Allah yang maha kaya dan maha berkuasa. Adukan semua kebingungan dan kekesalan-mu pada-Nya, niscaya kan kau dapati sebuah ketetapan yang sangat memuaskan hatimu dan tidak mengecewakan sedikitpun.”
Setelah mendengar bisikan itu, tiba-tiba hati saya besar lagi. kepala saya menjadi dingin dan rasa sesak di dada berganti dengan senyum lebar pertanda solusi telah didapatkan.
Saya menyadari, keadilan Allah –subhanahu wa ta’ala– belum tampak tegak dalam permasalahan ini. Namun keyakinan itu begitu menghujam di hati hingga membuat tenteram jiwa dan raga ini.
Seketika itu juga saya pun teringat kejadian-kejadian yang menimpa orang-orang yang berani berbuat zalim kepada saya baik melalui kata-kata maupun perbuatan. Begitu nyata di depan mata kepala saya sendiri betapa Allah –subhanahu wa ta’ala– membalas dengan siksaan yang pedih terhadap orang-orang itu. Balasan yang sangat cepat padahal ketika itu saya tidak pernah mendoakan keburukan untuk orang-orang yang telah menzalimi saya. Saya hanya mengadukan apa yang telah mereka lakukan pada diri saya.
Tapi azab Allah –subhanahu wa ta’ala– begitu berat. Saking beratnya saya malah sedih dan kasihan melihat penderitaan mereka. Namun itulah akibat yang akan didapatkan oleh orang-orang yang telah berbuat zalim.
Akhirnya dada saya pun lapang kembali. Yang saya lakukan cukup diam saja tak mengatakan apapun dan tak melakukan tindakan apapun pada orang-orang yang telah berbuat licik pada saya. Cukup dengan mengadu kepada Allah –subhanahu wa ta’ala-, yakin akan janji-janjinya dan bertawakkal (berserah diri) hanya kepadaNya.
Apa yang akan terjadi maka terjadilah, hanya kepada Allah saya menyembah dan hanya kepada Allah saya memohon pertolongan